Kamis, 23 April 2015

sujud sahwi dan sujud tilawah



G. Sujud Sahwi dan Sujud Tilawah
Sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan karena lupa atau ragu dalam shalat. Tata cara sujud sahwi adalah sebagai berikut:
1.      Jika lupa dalam shalat dengan kelebihan jumlah raka’at shalatnya, maka setelah salam disunnahkan sujud dua kali kemudian salam lagi. (HR. Jama’ah, dari Ibn Mas’ud)
2.      Jika lupa, dalam keadaan sudah salam sebelum sempurna jumlah raka’atnya,kemudian setelah salam disunnahkan sujud dua kali kemudian salam lagi. (HR.Bukhari-Muslim, Abu Hurairah)
3.      Jika lupa dengan meninggalkan kewajiban (rukun) shalat, misalnya tahiyyat awal, maka disunnahkan sujud dua kali sebelum salam. (HR. Jama’ah)
4.      Jika ragu misalnya apakah sedang mengerjakan raka’at ketiga atau keempat dan dia sama sekali tidak memiliki keyakinan yang mantap, maka pilihlah raka’at yang minimal (yakni raka’at ketiga) kemudian sempurnakan sisa raka’at yang kurang lalu sujudlah dua kali sebelum salam. (HR. Muslim, dari Abu Sa’id)
5.      Jika ragu tapi kemudian dia memiliki keyakinan yang lebih kuat kepada raka’at yang lebih banyak (keempat misalnya), maka setelah salam disunnahkan sujud dua kali kemudian salam. (HR.B-M, dari Ibn Mas’ud)
Sujud tilawah yakni sujud yang dilakukan didalam atau diluar shalat karena mendengar ayat sajdah dalam pembacaan Al-Qur’an (QS. Maryam: 58), maka disunnahkan untuk bertakbir dan bersujud satu kali dengan membaca :
Artinya:
“wajahku sujud kepada Tuhan yang menciptakannya, yang melukisnya, yang memberi penglihatan dan pendengaran. Maha suci Allah sebaik-baik pencipta.” (HSR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dari Aisyah)
H. Dzikir dan Doa setelah Shalat
Selesai shalat,disunnatkan untuk duduk sejenak sambil melafalkan istighfar yakni permohonan ampun dengan doa: astaghfirullahaladzim (3 kali):”hamba mohon ampun pada Allah.” Atau bisa juga memilih bacaan istighfar yang lebih panjang:
Hamba mohon ampun pada Allah Dzat yang tidak ada Tuhan selain Dia Yang Hidup, yang senantiasa mengurus makhlukNya, dan hamba bertobat kepadaNya. (HRS. Abu Dawud, al-Tirmidzi. Dalam HR. Al-Hakim, boleh dibaca hingga 3x).
Kemudian membaca Subhanallah 33x, Al-hamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x dan kemudian disempurnakan dengan tahlil 1x.
Setelah itu berdoalah sesuai dengan keinginan baik kita , tapi dengan cara yang sesuai dengan tuntunan.
Di antara adab berdoa adalah:
1.      Berdoala dengan ikhlas dan awali dengan memuji Allah SWT.
“berdoalah kepadaNya dengan memurnikan ibadat kepadaNya, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”(QS. Al-Mu’min/40:65)
2.      Berdoalah dengan merendahkan diri, dan dengan suara lembut tanpa perlu dikeraskan karena Allah tidak suka dengan orang yang melampaui batas. Allah berfirman dalam QS. Al-A’raf/7:55)
3.      Bersihkan jiwa lebih dahulu dengan menjauhi segala perbuatan dosa dan merusak, kemudian berdoalah dengan serius dan penuh harap (optimis). (QS. al-A’raf/7:56)
4.      Dalam berdoa harus bersabar tidak boleh marah dan mendesakkan doa. (QS. Al-Qalam/68:48)
Yakinlah bahwa selama beriman dan beramal salih pasti akan dikabulkan doanya atau bahkan diganti dengan yang lebih baik dari yang dimintanya. (QS.Al-Syura/42:26)
5.      Akhiri doa kita dengan doa sapu jagat (QS Al-Baqara/2:201) dan permohonan agar doa an pertaubatan kita dikabulkan Allah (QS. 2: 127-128),lalu bertasbih dan memuji Allah (QS. yunus/10:10).
I.         Jama ‘ dan Qashar
Menjama’ dan menqashar shalat termasuk rukhshah (kelonggaran/keringanan) yang diberikan Allah kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan bila shalat dilakukan dalam keadaan biasa.
Namun jika ada musafir yang tidak mengqashar shalatnya maka shalatnya tetap sah, hanya saja kurang sesuai dengan sunnah karena Nabi senantiasa menjama’ dan mengqashar shalatnya saat melakukan safar.
Menjama’ shalat adalah mengumpulkan dua shalat fardlu dalam satu waktu,sedang mengqashar shalat memendekkan jumlah rakaat shalat dari empat raka’at menjadi dua raka’at. Shalat jama’ terdiri dari dua macam yaitu jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. Jama’ taqdim adalah menggabungkan shalat dzuhur dan ashar yang dilakukan pada waktu dzuhur, dan shalat maghrib digabungkan pelaksanaaanya dengan isya pada waktu maghrib. Sedangkan jama’ ta’khir adalah menggabungkan shalat dzuhur dan ashar sesuai urutan pada waktu ashar, dan shalat maghrib dan ‘isya dilakukan pada waktu ‘isya juga sesuai urutan.
Ada beberapa keadaan yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya, yaitu:
1.      Ketika sedang haji di Arafah, di Mina dan Muzdalifah. Tetapi sebagian ulama hanya membolehkan shalat qasha, tidak dijama’, karena sebagian hadisnya hanya menyebutkan di Mina 2 raka’at (Muttafaq ‘alayh, dari Ibn ‘Umar dan ‘Abdurrahman bin Yazid ra).
2.      Ketika bepergian (jauh) sebagai musafir  (HR. Abu Daud, dari Mu’adz bin Jabal), termasuk ketika akan pergi jauh untuk berperang.
3.      Dalam keadaan hujan. Dalam hal ini, Hanabilah mensyaratkan jama’ karena hujan ini jika dikerjakan berjama’ah dimasjid, sedangkan Malikiyah henya mensyaratkan jika dikerjakan di masjid saja.
4.      Ketika saki, atau keadaan lain yang menyulitkan (HR. Muslim dari Ibn Abbas). Adapun mengqashar shalat didasarkan pada QS. Al-Nisa’/4: 101.
Artinya :
dan apabia kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat (mu) jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Ayat diatas menyatakan bahwa mengqashar shalat dibolehkan dalam keadaan berpergian jauh (musafir) atau dalam keadaan khawf (ketakutan) misalnya karena perang. Caranya adalah shalat wajib yang empat rakaat (yakni shalat dzuhur, Ashar dan Isya) dikerjakan cukup dua rakaat.
Jarak Safar yang dibolehkan jama’ dan Qashar.
Adapun jarak perjalanan (safar) yang diperbolehkan untuk menjama’ dan mengqashar shalat ternyata ulama berbeda pendapat. Ada ulama yang berpendapat jarak minimal 1 farsakh atau 3 mil, ada yang minimal 3 farsakh, ada yang berpendapat safar minimal harus sehari semalam, bahkan ada yang berpendapat tidak ada jarak dan waktu yang pasti karena sangat tergantung pada kondisi fisik , psikis serta keadaan sosiologis dan lingkungan masyarakat.
Dalam hal ini ada hadist yang memberikan penjelasan jarak safar antara lain riwayat Syu’bah dari Yahya bin Yazid al-Huna’i dari Anas ra bahwa:
Artinya:
“ Apabila beliau (Nabi SAW) keluar dalam sebuah perjalanan 3 mil atau 3 farssakh maka beliau shalat dua rakaat”. (HSR. Muslim, dan Abu Daud).
Lama safar yang dibolehkan jama’ dan qashar
Para ulama juga berbeda pendapat berapa lama perjalanan yang membolehkan musafir melaksanaka shalat jama’ dan qashar. Imam Malik, Al-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa maksimal 3 hari bagi muhajirin yang akan muqim (tinggal) di tempat tersebut. Sementara ada juga yang berpendapat maksimal 4 hari, 10 hari (Muttafaq ‘alayh, dari Anas bin Malik), 12 hari (HR. Ahmad, dari ‘Imran), 15 hari (pendapat Abu Hanifah), 17 hari, dan 19 hari (Muttafaq ‘Alayh, dari Ibn ‘Abbas).
Hadis lain dari Ibn ‘Abbas ra bahwa:
Artinya:
kami pernah muqim (tinggal) bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan (yakni: di makkah) 19 hari dan mengqashar shalatnya. Tetapi jika sudah lebih 19 hari, maka kami shalat empat rakaat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, dll).
J. Shalat Jama’ah
Terlalu banyak hadis Nabi saw yang menekankan penting dan utamanya shalat wajib berjama’ah apalagi dilaksanakan tepat waktu (yakni di awal waktu) di masjid. Disana ada nilai ukhuwah, kebersamaan dan silaturahmi antar sesama saudara muslim, ada nilai gerakan meninggalkan kemalasan, dan masih banyak manfaat yang bisa diperoleh sehingga orang melangkahkan kakinya untuk berjamaah di masjid. Menurut Nabi saw, akan dinaikkan derajatnya oleh Allah hingga 25 atau 27 derajat dan dihapuskan kesalahannya (HR. Al-Bukhari Muslim).
Mengenai imam shalat, Nabi menganjurkan dalam mengangkat imam shalat jama’ah maka hendaklah mengutamakan orang-orang pilihan (HR. Daraquthni dari Ibn Umar) yaitu lebih mendahulukan orang yang lebih bagus bacaan Al-Qur’annya, kemudian yang lebih ahli dalam agama, dan yang lebih tua (HR. Abu Daud, dari Abu ‘Amr bin al-Ash).
Tata Cara Shalat Jama’ah dan Merapatkan Shaf
1.      Shalat fardu berjamaah sebaiknya dilaksanakan di masjid/musholla.
2.      Sebelum takbir, imam supaya menghadap ke ma’mumnya memperhatikan shaf mereka (barisan) dan mengaturnya terlebih dahulu. Caranya:
a.       Imam hendaknya menganjurkan supaya meluruskan dan merapatkan shafnya . meluruskan dan merapatkan shaf adalah bagian dari menyempurnakan shalat berarti sama dengan menegakkan shalat. Itulah sebabnya Nabi saw kadang menggunakan kalimat perintah supaya menegakkan shaf yakni dengan car merapatkan dan mendekatkan shaf:
Artinya:
“tegakkanlah shaf-shaf kalian, dan saling merapatlah kalian!” (HSR. Al-Bukhari, al-Nasa’i, Ahmad)”.
Di antara tujuan merapatkan shaf, selain supaya syaithan tidak masuk di sela-sela shaf (seperi disebutkan pada lanjutan hadis Abu Dawud, al-Nasa’i, dll), juga supaya ada persentuhan fisik di antara jama’ah saat menghadap Allah sehingga diharapkan Allah pun akan menyatukan hati para jama’ah.
Bagaimana Merapatkan Shaf?
Nabi menganjurkan untuk merapatkan antara bahu dengan bahu, tana menyebutkan kaki karena jarak antar kaki hanya menyesuaikan dengan lebar bahu. Nabi saw bersabda:
Artinya:
“ tegakkanlah shaf, sejajarkan antar bahu, hindari sela-sela, lembutkan tanganmu untuk saudaramu, dan jangan berikan kesempatan (memutus) untuk syaithan. Barang siapa yang menyambung shaf maka Allah akan menyambung (hubungan)nya, namun barang siapa yang memutus shaf maka Allah pun akan memutusnya. “ (HSR. Abu Dawud, Ahmad dan al- Bayhaqi, dari Anas ra).
b.      Imam juga dituntun untuk menganjurkan pada jama’ah laki-laki agar shaf depan dipenuhi lebih dahulu kemudian shaf berikutnya. Nabi saw bersabda:
Artinya:
“ Sempurnakan (penuhi) shaf yang didepan lebih dahulu, kemudian shaf yang berikutnya!’ (HHR. Abu Dawud).
Susunan shaf terbaik bagi laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan shaf terbaik bagi perempuan adalah yang paling belakang.
c.       Jika ma’mum hanya seorang maka sangat di anjurkan oleh Nabi saw agar posisi shafnya berada disebelah kanan imam. Jika datang menyusul ma’mum yang lain maka hendaklah berdiri di belakang imam , kemudian ma’mum yang berdiri sendiri di sebelah kanan imam tadi mundur ke belakang untuk menyamakan shaf dengan ma’mum yang lain. Jika ma’mum yang datang belakangan hanya sendirian di shaf belakang, maka dilarang menarik kebelakang seorangpun jamaah yang sudah berbaris mapan dengan jamaah lain. Hal ini karena: 1) bagaimanapun juga shaf depan lebih baik dari pada shaf belakang. Kita disunnahkan menyempurnakan/mengisi shaf depan lebih dahulu,bukan menguranginya; 2) Bisa mengganggu konsentrasi jamaah karena mesti akan menggeser shaf yang sudah mapan dan sempurna di depan; 3) Hadis yang biasa dijadikan landasan untuk menarik seorang jamaah untuk menemani ma’mum yang sendirian di belakang adalah palsu (lemah).
d.      Jika ma’mumnya hanya ada seorang wanita maka tidak boleh jama’ah berduaan dengan diimami oleh laki-laki yang bukan mahramnya atau bukan suaminya. Hal ini karena sama dengan berkhalwat dan dikhawatirkan akan dapat menimbulkan fitnah. Tapi kalau wanita tersebut makmum pada suaminya maka posisinya tetap disebelah kanan imam, bukan dikirinya karena tidak ada dalilnya.
e.       Imam perempuan hanya boleh mengimami sesama perempuan dan anak kecil yang belum baligh. Posisi shaf imam perempuan sejajar  dengan ma’mum perempuan dan berada di tengah shaf pertama.
3.      Dalam kasus shalat wajib empat raka’at , bila ada orang mu’qim (tinggal di daerah itu) yang ikut berjamaah dengan kelompok musafir dan berma’mum kepada imam musafir, maka setelah imam salam, ma’mum muqim tersebut tinggal menyempurnakan jumlah rakaat yang belum dikerjakan. Ini didasarkan pada atsar ‘Umar bin al-Khaththab ra, beliau berkata:
“wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian karena kami ini kaum yang sedang safar!” (HR Malik, ‘Abd al-Razzaq & al-Bayhaqi).
Tetapi bila seorang musafir diminta secara khusus untuk mengimami komunitas jama’ah yang muqim, maka dalam konteks ini lebih baik bila dia menyempurnakan shalatnya seperti shalat jama’ah yang muqim, lalu setelah salam maka musafir tersebut tinggal melaksanakan salat jama’ qashar yang belum dikerjakannya dengan diantarainya iqamah. Sedangkan bila musafir menjadi ma’mum pada imam yang muqim maka ma’mum musafir mengikuti shalat imam secara lengkap hingga salam kecuali bila dia masbuq di pertengahan shalat maka boleh langsung qashar 2 rakaat. Setelah salam dan qamat, musafir tersebut tinggall melaksanakan shalat jama’-qashar yang belum dikerjakan.
4.      Apabila imam sudah bertakbir maka ma’mum segera bertakbir dan jangan sekali-kali mendahului dan menyelisihi gerak imam.
5.      Hendaklah ma’mum memperhatikan dengan tenang bacaan imam dan tidak membaca apapun kecuali Al-Fatihah yang dibaca dalam hati mengikuti bacaan imam.
6.      Bila keadaan ma’mum heterogen (bermacam-macam) imam hendaknya memilih bacaan surat yang sedang dan disesuaikan dengan kondisi jama’ah (HR. Ahmad dari Anas). Nabi saw menganjurkan jika menjadi imam justru dengan memilih bacaan yang ringan, namun jika shalat sendirian maka tidak apa-apa memilih bacaan yang panjang (Muttafaq ‘Alayh).
7.      Jika ada ma’mum yang masbuq (terlambat) maka ia harus bertakbir lalu mengikuti gerakan imam yang terakhir dalam posisi apapun. Jika ma’mum mendapatkan ruku’ bersama imam maka ia sudah terhitung rakaat.
8.      Jika imam lupa dalam gerakan shalat maka ma’mum laki-laki mengingatkan dengan ucapan subhanallah, sedangkan ma’mum perempuan dengan cara menepukkan tangan di tempat terdekat, misalnya dipaha atau dilengannya.(HR. Al-Bukhari, dari Sahl bin Sa’ad Al-Sa’idi). Tapi jika imam lupa bacaan shalatnya maka ma’mum mengingatkan dengan membaca bacaan yang seharusnya.
9.      Dilarang lewat didepan orang yang sedang shalat (HR. Jama’ah, dari Abu Juhaim ra) dengan batas tempat sujud. Prinsip larangan ini dimaksudkan supaya tidak mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat menghadap kepada Allah swt. Itu lah sebabnya untuk mencegah supaya orang tidak sembarangan lewat dan mengganggu orang yang sedang shalat, maka Nabi saw menganjurkan untuk mendekati dinding pembatas atau memakai sutrah (pembatas) sebatas 3 hasta. (HR. Al-Bukhari dan Ahmad). Tepai hukum memakai pembatas ini tidaklah wajib karena Nabi saw juga shalat di tempat terbuka tanpa sutrah atau sesuatu apapun didepannya.
10.  Selesai shalat, imam hendaknya menghadap ke arah ma’mum (HR. Al-Bukhari, dari Samurah) atau ke arah kanan imam (HR. Muslim dan Abu Daud, dari Al-Barra’).
K. Shalat Jum’at
Perintah shalat jum’at terdapat dalam QS. Al Jumu’ah/62:9 dan HR. Abu Daud dari Thariq bin Syihab ra. Dengan demikian hukumnya fardlu (wajib). Bagi orang yang menyepelekan jum’atan sehingga meninggalkannya sampai tiga kali dicap sebagai orang munafiq (HR. Ahmad, dan dinilai sahih menurut syarat Muslim).
Shalat ini terdiri dari dua rakat dan dilaksanakan secara berjamaah pada waktu masuk dzuhur dimana sebelumnya dimulai dengan dua khutbah. Khutbah jum’at ini dimulai oleh khatib dengan salam , lalu duduk untuk mendengarkan azan, kemudian berdiri membaca hamdalah, kemudian syahadatayn,shalawat kepada Nabi Muhammad saw, menyampaikan wasiat taqwa dan pesan-pesan Allah dalam Al-qur’an. Hendaknya Khatib menyampaikan khutbahnya secara singkat namun padat (HR. Muslim, dari ‘Ammar bin Yasir) dan disunnahkan mengakhiri  khutbahnya dengan doa. Ketika khutbah sedang berlangsung , jamaah dituntunkan mendengarkan khutbah dengan tenang dan dilarang berbuat hal-hal yang sia-sia seperti bergerak-gerak dan berbicara, bahkan jamaah dilarang menegur teman dengan kata “diamalah” (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah).


1 komentar: