G. Sujud
Sahwi dan Sujud Tilawah
Sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan karena lupa atau ragu dalam
shalat. Tata cara sujud sahwi adalah sebagai berikut:
1.
Jika lupa dalam
shalat dengan kelebihan jumlah raka’at shalatnya, maka setelah salam
disunnahkan sujud dua kali kemudian salam lagi. (HR. Jama’ah, dari Ibn Mas’ud)
2.
Jika lupa,
dalam keadaan sudah salam sebelum sempurna jumlah raka’atnya,kemudian setelah
salam disunnahkan sujud dua kali kemudian salam lagi. (HR.Bukhari-Muslim, Abu
Hurairah)
3.
Jika lupa
dengan meninggalkan kewajiban (rukun) shalat, misalnya tahiyyat awal, maka
disunnahkan sujud dua kali sebelum salam. (HR. Jama’ah)
4.
Jika ragu
misalnya apakah sedang mengerjakan raka’at ketiga atau keempat dan dia sama
sekali tidak memiliki keyakinan yang mantap, maka pilihlah raka’at yang minimal
(yakni raka’at ketiga) kemudian sempurnakan sisa raka’at yang kurang lalu
sujudlah dua kali sebelum salam. (HR. Muslim, dari Abu Sa’id)
5.
Jika ragu tapi
kemudian dia memiliki keyakinan yang lebih kuat kepada raka’at yang lebih
banyak (keempat misalnya), maka setelah salam disunnahkan sujud dua kali
kemudian salam. (HR.B-M, dari Ibn Mas’ud)
Sujud tilawah yakni sujud yang dilakukan didalam atau diluar shalat
karena mendengar ayat sajdah dalam pembacaan Al-Qur’an (QS. Maryam: 58), maka
disunnahkan untuk bertakbir dan bersujud satu kali dengan membaca :
Artinya:
“wajahku
sujud kepada Tuhan yang menciptakannya, yang melukisnya, yang memberi
penglihatan dan pendengaran. Maha suci Allah sebaik-baik pencipta.” (HSR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dari Aisyah)
H.
Dzikir dan Doa setelah Shalat
Selesai
shalat,disunnatkan untuk duduk sejenak sambil melafalkan istighfar yakni
permohonan ampun dengan doa: astaghfirullahaladzim (3 kali):”hamba mohon ampun
pada Allah.” Atau bisa juga memilih bacaan istighfar yang lebih panjang:
Hamba
mohon ampun pada Allah Dzat yang tidak ada Tuhan selain Dia Yang Hidup, yang
senantiasa mengurus makhlukNya, dan hamba bertobat kepadaNya. (HRS. Abu Dawud, al-Tirmidzi. Dalam HR. Al-Hakim, boleh dibaca
hingga 3x).
Kemudian
membaca Subhanallah 33x, Al-hamdulillah 33x, Allahu Akbar
33x dan kemudian disempurnakan dengan tahlil 1x.
Setelah
itu berdoalah sesuai dengan keinginan baik kita , tapi dengan cara yang sesuai
dengan tuntunan.
Di
antara adab berdoa adalah:
1.
Berdoala dengan
ikhlas dan awali dengan memuji Allah SWT.
“berdoalah kepadaNya dengan memurnikan ibadat kepadaNya, segala
puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”(QS. Al-Mu’min/40:65)
2.
Berdoalah
dengan merendahkan diri, dan dengan suara lembut tanpa perlu dikeraskan karena
Allah tidak suka dengan orang yang melampaui batas. Allah berfirman dalam QS.
Al-A’raf/7:55)
3.
Bersihkan jiwa
lebih dahulu dengan menjauhi segala perbuatan dosa dan merusak, kemudian berdoalah
dengan serius dan penuh harap (optimis). (QS. al-A’raf/7:56)
4.
Dalam berdoa
harus bersabar tidak boleh marah dan mendesakkan doa. (QS. Al-Qalam/68:48)
Yakinlah bahwa selama beriman dan beramal salih pasti akan
dikabulkan doanya atau bahkan diganti dengan yang lebih baik dari yang
dimintanya. (QS.Al-Syura/42:26)
5.
Akhiri doa kita
dengan doa sapu jagat (QS Al-Baqara/2:201) dan permohonan agar doa an
pertaubatan kita dikabulkan Allah (QS. 2: 127-128),lalu bertasbih dan memuji
Allah (QS. yunus/10:10).
I.
Jama ‘ dan
Qashar
Menjama’
dan menqashar shalat termasuk rukhshah (kelonggaran/keringanan) yang diberikan
Allah kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan bila shalat
dilakukan dalam keadaan biasa.
Namun
jika ada musafir yang tidak mengqashar shalatnya maka shalatnya tetap sah,
hanya saja kurang sesuai dengan sunnah karena Nabi senantiasa menjama’ dan
mengqashar shalatnya saat melakukan safar.
Menjama’
shalat adalah mengumpulkan dua shalat fardlu dalam satu waktu,sedang mengqashar
shalat memendekkan jumlah rakaat shalat dari empat raka’at menjadi dua raka’at.
Shalat jama’ terdiri dari dua macam yaitu jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. Jama’
taqdim adalah menggabungkan shalat dzuhur dan ashar yang dilakukan pada waktu
dzuhur, dan shalat maghrib digabungkan pelaksanaaanya dengan isya pada waktu
maghrib. Sedangkan jama’ ta’khir adalah menggabungkan shalat dzuhur dan ashar sesuai
urutan pada waktu ashar, dan shalat maghrib dan ‘isya dilakukan pada waktu
‘isya juga sesuai urutan.
Ada
beberapa keadaan yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya, yaitu:
1.
Ketika sedang
haji di Arafah, di Mina dan Muzdalifah. Tetapi sebagian ulama hanya membolehkan
shalat qasha, tidak dijama’, karena sebagian hadisnya hanya menyebutkan di Mina
2 raka’at (Muttafaq ‘alayh, dari Ibn ‘Umar dan ‘Abdurrahman bin Yazid ra).
2.
Ketika
bepergian (jauh) sebagai musafir (HR.
Abu Daud, dari Mu’adz bin Jabal), termasuk ketika akan pergi jauh untuk
berperang.
3.
Dalam keadaan
hujan. Dalam hal ini, Hanabilah mensyaratkan jama’ karena hujan ini jika
dikerjakan berjama’ah dimasjid, sedangkan Malikiyah henya mensyaratkan jika
dikerjakan di masjid saja.
4.
Ketika saki,
atau keadaan lain yang menyulitkan (HR. Muslim dari Ibn Abbas). Adapun
mengqashar shalat didasarkan pada QS. Al-Nisa’/4: 101.
Artinya :
“dan apabia
kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat (mu)
jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu.”
Ayat diatas
menyatakan bahwa mengqashar shalat dibolehkan dalam keadaan berpergian jauh
(musafir) atau dalam keadaan khawf (ketakutan) misalnya karena perang.
Caranya adalah shalat wajib yang empat rakaat (yakni shalat dzuhur, Ashar dan
Isya) dikerjakan cukup dua rakaat.
Jarak
Safar yang dibolehkan jama’ dan Qashar.
Adapun
jarak perjalanan (safar) yang diperbolehkan untuk menjama’ dan
mengqashar shalat ternyata ulama berbeda pendapat. Ada ulama yang berpendapat
jarak minimal 1 farsakh atau 3 mil, ada yang minimal 3 farsakh, ada yang
berpendapat safar minimal harus sehari semalam, bahkan ada yang berpendapat
tidak ada jarak dan waktu yang pasti karena sangat tergantung pada kondisi
fisik , psikis serta keadaan sosiologis dan lingkungan masyarakat.
Dalam hal ini ada hadist yang
memberikan penjelasan jarak safar antara lain riwayat Syu’bah dari Yahya bin
Yazid al-Huna’i dari Anas ra bahwa:
Artinya:
“ Apabila
beliau (Nabi SAW) keluar dalam sebuah perjalanan 3 mil atau 3 farssakh maka
beliau shalat dua rakaat”. (HSR. Muslim, dan Abu Daud).
Lama safar yang
dibolehkan jama’ dan qashar
Para
ulama juga berbeda pendapat berapa lama perjalanan yang membolehkan musafir
melaksanaka shalat jama’ dan qashar. Imam Malik, Al-Syafi’i dan Ahmad
berpendapat bahwa maksimal 3 hari bagi muhajirin yang akan muqim (tinggal) di
tempat tersebut. Sementara ada juga yang berpendapat maksimal 4 hari, 10 hari
(Muttafaq ‘alayh, dari Anas bin Malik), 12 hari (HR. Ahmad, dari ‘Imran), 15
hari (pendapat Abu Hanifah), 17 hari, dan 19 hari (Muttafaq ‘Alayh, dari Ibn
‘Abbas).
Hadis lain dari Ibn ‘Abbas ra bahwa:
Artinya:
“kami pernah muqim (tinggal)
bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan (yakni: di makkah) 19 hari dan
mengqashar shalatnya. Tetapi jika sudah lebih 19 hari, maka kami shalat empat
rakaat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, dll).
J. Shalat
Jama’ah
Terlalu
banyak hadis Nabi saw yang menekankan penting dan utamanya shalat wajib
berjama’ah apalagi dilaksanakan tepat waktu (yakni di awal waktu) di masjid.
Disana ada nilai ukhuwah, kebersamaan dan silaturahmi antar sesama saudara
muslim, ada nilai gerakan meninggalkan kemalasan, dan masih banyak manfaat yang
bisa diperoleh sehingga orang melangkahkan kakinya untuk berjamaah di masjid.
Menurut Nabi saw, akan dinaikkan derajatnya oleh Allah hingga 25 atau 27
derajat dan dihapuskan kesalahannya (HR. Al-Bukhari Muslim).
Mengenai
imam shalat, Nabi menganjurkan dalam mengangkat imam shalat jama’ah maka
hendaklah mengutamakan orang-orang pilihan (HR. Daraquthni dari Ibn Umar) yaitu
lebih mendahulukan orang yang lebih bagus bacaan Al-Qur’annya, kemudian yang
lebih ahli dalam agama, dan yang lebih tua (HR. Abu Daud, dari Abu ‘Amr bin
al-Ash).
Tata Cara
Shalat Jama’ah dan Merapatkan Shaf
1.
Shalat fardu
berjamaah sebaiknya dilaksanakan di masjid/musholla.
2.
Sebelum takbir,
imam supaya menghadap ke ma’mumnya memperhatikan shaf mereka (barisan) dan
mengaturnya terlebih dahulu. Caranya:
a.
Imam hendaknya
menganjurkan supaya meluruskan dan merapatkan shafnya . meluruskan dan
merapatkan shaf adalah bagian dari menyempurnakan shalat berarti sama dengan
menegakkan shalat. Itulah sebabnya Nabi saw kadang menggunakan kalimat perintah
supaya menegakkan shaf yakni dengan car merapatkan dan mendekatkan shaf:
Artinya:
“tegakkanlah
shaf-shaf kalian, dan saling merapatlah kalian!” (HSR. Al-Bukhari, al-Nasa’i, Ahmad)”.
Di antara
tujuan merapatkan shaf, selain supaya syaithan tidak masuk di sela-sela shaf
(seperi disebutkan pada lanjutan hadis Abu Dawud, al-Nasa’i, dll), juga supaya
ada persentuhan fisik di antara jama’ah saat menghadap Allah sehingga
diharapkan Allah pun akan menyatukan hati para jama’ah.
Bagaimana
Merapatkan Shaf?
Nabi
menganjurkan untuk merapatkan antara bahu dengan bahu, tana menyebutkan kaki
karena jarak antar kaki hanya menyesuaikan dengan lebar bahu. Nabi saw
bersabda:
Artinya:
“ tegakkanlah
shaf, sejajarkan antar bahu, hindari sela-sela, lembutkan tanganmu untuk
saudaramu, dan jangan berikan kesempatan (memutus) untuk syaithan. Barang siapa
yang menyambung shaf maka Allah akan menyambung (hubungan)nya, namun barang
siapa yang memutus shaf maka Allah pun akan memutusnya. “ (HSR. Abu Dawud,
Ahmad dan al- Bayhaqi, dari Anas ra).
b.
Imam juga
dituntun untuk menganjurkan pada jama’ah laki-laki agar shaf depan dipenuhi
lebih dahulu kemudian shaf berikutnya. Nabi saw bersabda:
Artinya:
“ Sempurnakan
(penuhi) shaf yang didepan lebih dahulu, kemudian shaf yang berikutnya!’ (HHR.
Abu Dawud).
Susunan shaf
terbaik bagi laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan shaf terbaik bagi
perempuan adalah yang paling belakang.
c.
Jika ma’mum
hanya seorang maka sangat di anjurkan oleh Nabi saw agar posisi shafnya berada
disebelah kanan imam. Jika datang menyusul ma’mum yang lain maka hendaklah
berdiri di belakang imam , kemudian ma’mum yang berdiri sendiri di sebelah
kanan imam tadi mundur ke belakang untuk menyamakan shaf dengan ma’mum yang lain.
Jika ma’mum yang datang belakangan hanya sendirian di shaf belakang, maka
dilarang menarik kebelakang seorangpun jamaah yang sudah berbaris mapan dengan
jamaah lain. Hal ini karena: 1) bagaimanapun juga shaf depan lebih baik dari
pada shaf belakang. Kita disunnahkan menyempurnakan/mengisi shaf depan lebih
dahulu,bukan menguranginya; 2) Bisa mengganggu konsentrasi jamaah karena mesti
akan menggeser shaf yang sudah mapan dan sempurna di depan; 3) Hadis yang biasa
dijadikan landasan untuk menarik seorang jamaah untuk menemani ma’mum yang
sendirian di belakang adalah palsu (lemah).
d.
Jika ma’mumnya
hanya ada seorang wanita maka tidak boleh jama’ah berduaan dengan diimami oleh
laki-laki yang bukan mahramnya atau bukan suaminya. Hal ini karena sama dengan
berkhalwat dan dikhawatirkan akan dapat menimbulkan fitnah. Tapi kalau wanita
tersebut makmum pada suaminya maka posisinya tetap disebelah kanan imam, bukan
dikirinya karena tidak ada dalilnya.
e.
Imam perempuan
hanya boleh mengimami sesama perempuan dan anak kecil yang belum baligh. Posisi
shaf imam perempuan sejajar dengan
ma’mum perempuan dan berada di tengah shaf pertama.
3.
Dalam kasus
shalat wajib empat raka’at , bila ada orang mu’qim (tinggal di daerah itu) yang
ikut berjamaah dengan kelompok musafir dan berma’mum kepada imam musafir, maka
setelah imam salam, ma’mum muqim tersebut tinggal menyempurnakan jumlah rakaat
yang belum dikerjakan. Ini didasarkan pada atsar ‘Umar bin al-Khaththab
ra, beliau berkata:
“wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian karena kami
ini kaum yang sedang safar!” (HR
Malik, ‘Abd al-Razzaq & al-Bayhaqi).
Tetapi bila seorang musafir diminta secara khusus untuk mengimami
komunitas jama’ah yang muqim, maka dalam konteks ini lebih baik bila dia
menyempurnakan shalatnya seperti shalat jama’ah yang muqim, lalu setelah salam
maka musafir tersebut tinggal melaksanakan salat jama’ qashar yang belum
dikerjakannya dengan diantarainya iqamah. Sedangkan bila musafir menjadi ma’mum
pada imam yang muqim maka ma’mum musafir mengikuti shalat imam secara lengkap
hingga salam kecuali bila dia masbuq di pertengahan shalat maka boleh langsung
qashar 2 rakaat. Setelah salam dan qamat, musafir tersebut tinggall
melaksanakan shalat jama’-qashar yang belum dikerjakan.
4.
Apabila imam
sudah bertakbir maka ma’mum segera bertakbir dan jangan sekali-kali mendahului
dan menyelisihi gerak imam.
5.
Hendaklah
ma’mum memperhatikan dengan tenang bacaan imam dan tidak membaca apapun kecuali
Al-Fatihah yang dibaca dalam hati mengikuti bacaan imam.
6.
Bila keadaan
ma’mum heterogen (bermacam-macam) imam hendaknya memilih bacaan surat yang
sedang dan disesuaikan dengan kondisi jama’ah (HR. Ahmad dari Anas). Nabi saw
menganjurkan jika menjadi imam justru dengan memilih bacaan yang ringan, namun
jika shalat sendirian maka tidak apa-apa memilih bacaan yang panjang (Muttafaq
‘Alayh).
7.
Jika ada ma’mum
yang masbuq (terlambat) maka ia harus bertakbir lalu mengikuti gerakan imam
yang terakhir dalam posisi apapun. Jika ma’mum mendapatkan ruku’ bersama imam
maka ia sudah terhitung rakaat.
8.
Jika imam lupa
dalam gerakan shalat maka ma’mum laki-laki mengingatkan dengan ucapan subhanallah,
sedangkan ma’mum perempuan dengan cara menepukkan tangan di tempat terdekat,
misalnya dipaha atau dilengannya.(HR. Al-Bukhari, dari Sahl bin Sa’ad
Al-Sa’idi). Tapi jika imam lupa bacaan shalatnya maka ma’mum mengingatkan
dengan membaca bacaan yang seharusnya.
9.
Dilarang lewat
didepan orang yang sedang shalat (HR. Jama’ah, dari Abu Juhaim ra) dengan batas
tempat sujud. Prinsip larangan ini dimaksudkan supaya tidak mengganggu
konsentrasi orang yang sedang shalat menghadap kepada Allah swt. Itu lah
sebabnya untuk mencegah supaya orang tidak sembarangan lewat dan mengganggu
orang yang sedang shalat, maka Nabi saw menganjurkan untuk mendekati dinding
pembatas atau memakai sutrah (pembatas) sebatas 3 hasta. (HR. Al-Bukhari
dan Ahmad). Tepai hukum memakai pembatas ini tidaklah wajib karena Nabi saw
juga shalat di tempat terbuka tanpa sutrah atau sesuatu apapun
didepannya.
10. Selesai shalat, imam hendaknya menghadap ke arah ma’mum (HR.
Al-Bukhari, dari Samurah) atau ke arah kanan imam (HR. Muslim dan Abu Daud,
dari Al-Barra’).
K.
Shalat Jum’at
Perintah shalat jum’at terdapat dalam QS. Al Jumu’ah/62:9 dan HR.
Abu Daud dari Thariq bin Syihab ra. Dengan demikian hukumnya fardlu
(wajib). Bagi orang yang menyepelekan jum’atan sehingga meninggalkannya sampai
tiga kali dicap sebagai orang munafiq (HR. Ahmad, dan dinilai sahih menurut
syarat Muslim).
Shalat ini terdiri dari dua rakat dan dilaksanakan secara berjamaah
pada waktu masuk dzuhur dimana sebelumnya dimulai dengan dua khutbah. Khutbah
jum’at ini dimulai oleh khatib dengan salam , lalu duduk untuk mendengarkan
azan, kemudian berdiri membaca hamdalah, kemudian syahadatayn,shalawat
kepada Nabi Muhammad saw, menyampaikan wasiat taqwa dan pesan-pesan Allah
dalam Al-qur’an. Hendaknya Khatib menyampaikan khutbahnya secara singkat namun
padat (HR. Muslim, dari ‘Ammar bin Yasir) dan disunnahkan mengakhiri khutbahnya dengan doa. Ketika khutbah sedang
berlangsung , jamaah dituntunkan mendengarkan khutbah dengan tenang dan
dilarang berbuat hal-hal yang sia-sia seperti bergerak-gerak dan berbicara,
bahkan jamaah dilarang menegur teman dengan kata “diamalah” (HR. Abu Daud dari
Abu Hurairah).
perbanyak latihan
BalasHapus